Melawan Hoax: Pentingnya “Critical Thinking” dan Literasi Media dalam Kurikulum Pendidikan di Indonesia

Syahrier Wakid
6 min readJul 22, 2019

Perkembangan teknologi informasi memiliki dampak besar pada kehidupan manusia, salah satunya adalah kita dapat dengan mudah mencari hampir semuanya dari internet. Namun, internet bisa dibilang seperti pedang bermata dua. Di satu sisi itu mempermudah kita mendapatkan pengetahuan baru, tetapi di sisi lain dapat menyesatkan dengan banyaknya berita palsu atau hoax.

Secara tradisional, kita mendapat berita dari media cetak, berupa koran, majalah atau pamflet yang dihasilkan oleh sumber terpercaya yang bisa dipertanggung jawabkan seperti wartawan yang diharuskan mengikuti aturan jurnalistik yang ketat. Namun saat ini, internet, terutama media sosial (Facebook, Twitter, Instagram) telah menciptakan cara yang sama sekali baru untuk menerbitkan, berbagi, dan mengkonsumsi informasi dan berita dengan sangat sedikit mengikuti peraturan atau bahkan sama sekali mengabaikan standar editorial jurnalistik.

Menurut Oxford Dictionaries, hoax is a humorous or malicious deception, sebuah tipuan berbentuk candaan atau sesuatu tipuan yang berbahaya.Sedangkan berita palsu adalah berita, cerita, atau tipuan yang dibuat dengan sengaja memberi informasi yang salah atau menipu pembaca. Biasanya, cerita-cerita ini dibuat untuk memengaruhi pandangan orang, berupa propaganda, mendorong agenda dan kepentingan politik golongan atau menyebabkan kebingungan dan menimbulkan konflik sosial di masyarakat (Leonhardt & Thompson, 2017).

Hoax telah terbukti menjadi acaman nyata, bahkan beberapa negara telah menerapkan instrumen hukum khusus untuk mengatasi penyebaran hoax. Indonesia sendiri telah memiliki Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tahun 2008 yang mengatur hukum mengenai penyebaran hoax. Tetapi tetap dibutuhkan upaya pencegahan selain dari pembuatan Undang-Undang. Tulisan ini memberikan usulan bagaimana cara pencegahan berita palsu dengan berfokus pada penerapan konsep Critical Thinking di dunia pendidikan dalam upaya mendukung pemerintah menerangi serbuan hoax.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah sains. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa efek berita palsu telah menembus hampir semua lini kehidupan masyarakat termasuk politik, ekonomi dan sosial. Sebagai ilustrasi, pada periode 2006–2007 diperkirakan ada 126.000 berita palsu dan hoax yang disebarkan oleh sedikitnya 3 juta orang (Dizikes, 2018). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hoax ternyata menyebar lebih cepat jika dibandingkan dengan penyebaran berita benar (Temming, 2018).

Data empiris menunjukkan bahwa berita palsu disebarkan oleh setidaknya 1000 hingga 100,00 orang, sedangkan berita bener hanya disebarkan oleh sekitar 1000 orang. Dengan menggunakan dan menganalisis 60 juta konten di Facebook dan 48 juta konten di Twitter, para peneliti dengan berbagai latar belakang berhasil mengungkapkan bahwa hoax menjangkau lebih banyak orang, menembus lebih dalam ke jejaring sosial, dan menyebar jauh lebih cepat daripada berita yang benar dan akurat. (Dizikes, 2018). Penyebaran informasi palsu pada dasarnya bukan karena bot, tetapi manusia yang lebih banyak menyebarkan berita palsu. Hasil penelitian MIT menyebutkan bahwa bot menyebarkan hoax dan berita benar hampir sama banyaknya, sedangkan sebaliknya manusia menjadi penyebar hoax yang utama.

Di Indonesia sendiri, media sosial menjadi sarang penyebaran hoax. Dari hasil survey IT news portal DailySocial, tiga aplikasi media sosial yang paling sering digunakan untuk menyebarkan hoax, yaitu Facebook sebesar 82,25 persen, WhatsApp 56,55 persen, dan Instagram sebesar 29,48 persen. Studi ini, yang mensurvei 2.032 responden (57,97 persen pria dan 42,03 persen wanita) pengguna smartphone secara nasional, menunjukkan 44,19 persen responden mengaku tidak yakin mereka punya kepiawaian dalam mendeteksi berita hoax. Hanya 55,61% dari responden mengatakan mereka selalu memverifikasi informasi, dengan 41,58 persen kadang-kadang meverifikasi dan 2,81 persen yang sama sekali tidak memverifikasi.

Pada 2015 dan 2016, sebuah penelitian meminta 348 siswa sekolah menengah di AS untuk menyelesaikan lima tugas menentukan apakah satu set posting media sosial dan artikel online dapat dipercaya. Penelitian ini adalah bagian dari studi yang dilakukan oleh para peneliti dari History Education Group (HEG) Universitas Stanford, untuk mengukur apa yang mereka sebut “civic online reasoning” yaitu, kemampuan untuk menilai kredibilitas informasi yang ditemukan dari media online. Untuk melakukan ini, mereka menyusun 56 penilaian berbeda untuk siswa setingkat SMP, SMA, dan perguruan tinggi di 12 negara bagian di Amerika. Para peneliti mengumpulkan 7.804 tanggapan siswa. Secara keseluruhan, kemampuan siswa di AS untuk bernalar tentang informasi di media sosial dan media online dari hasil penelitian terbilang buruk (Donald, 2016).

Kemudian, pada tahun 2017, Shane Horn dan Koen Veermans mengulangi percobaan yang dilakukan oleh peneliti HEG di Finlandia dengan sekelompok 42 siswa sekolah menengah yang akan memasuki program sekolah menengah internasional, the International Baccalaureate (IB) Diploma Programme yang diarahkan untuk persiapan universitas, dan 25 siswa yang akan lulus dari program tersebut. (Mayoritas siswa adalah orang Finlandia, dengan beberapa berasal dari luar negeri). Menggunakan evaluasi yang dikembangkan oleh HGE, Shane Horn dan Koen Veermans menilai kemampuan siswa untuk bernalar tentang berita di media sosial dengan tiga tipe “Beginners,” “Emerging,” and “Mastery”.

Penelitian ini diterbitkan dalam Journal of Research in International Education pada bulan April 2019 berjudul Critical thinking efficacy and transfer skills defend against ‘fake news’ at an international school in Finland. Hasil penelitian mengungkapkan siswa di sekolah internasional (International Baccalaureate Diploma Programme) di Finlandia secara signifikan mengungguli siswa di AS dalam hal literasi digital di media sosial dan berita online. Dalam sistem penilatian HEG, siswa AS mendapat nilai “Beginners” dan siswa dari Finlandia mendapat nilai “Mastery”. Para peneliti tersebut berpendapat, hal ini disebabkan oleh perbedaan kurikulum Finlandia dalam memfasilitasi keterampilan berpikir kritis siswa dibandingkan dengan sistem dan kurikulum di AS (University of Turku, 2019).

Tetapi perlu diperhatikan bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan, karena perbedaan sampel siswa. Studi dari Stanford mengambil sampel 348 siswa sekolah menengah dari berbagai negara bagian di AS, tetapi studi di Finlandia hanya menilai 67 siswa yang tidak representatif secara nasional dan merupakan siswa di program internasional. Karena itu mungkin tidak mengejutkan jika siswa di Finlandia mengungguli sekelompok siswa sekolah menengah di AS (Donald, 2016).

Para peneliti mengungkapkan alasan untuk perbedaan hasil penelitian dari kedua negara tersebut karena perbedaan sistem pendidikan. Kurikulum dii Finlandia, terutama IB-program secara eksplisit memfasilitasi keterampilan berpikir kritis dalam kurikulumnya. Sebaliknya, kurikulum di AS menanamkan pemikiran kritis hanya secara implisit sedangkan kurikulum Finlandia, khususnya IB-programme memfasilitasi keterampilan berpikir kritis baik secara eksplisit dan menanamkan pemikiran kritis juga dalam semua mata pelajaran (Horn and Veermans, 2019). Kurikulum di Finlandia secara eksplisit mengikat keterampilan berpikir kritis ke dalam mata pelajaran lain, dan berfokus secara eksklusif dalam sebuah mata pelajaran yang disebut “Theory of Knowledge”.

Finlandia memasukkan “critical thinking” di kurikulum sekolah dalam upaya menghadapi hoax. Poin utamanya adalah untuk menginspirasi para siswa di era digital menjadi “detektif digital”. Hal yang dilakukan adalah melatih siswa memeriksa berita yang ditemukan di YouTube dan media sosial, membandingkan beberapa media online dalam berbagai artikel “clickbait” yang berbeda dengan judul sensasional, menyelidiki bagaimana berita hoax cenderung memancing emosi pembaca (Charlton, 2019). Pengajaran ini bertujuan untuk membuat siswa berhati-hati sebelum membagi dan menyebarkan berita.

Dengan pendidikan berkualitas tinggi serta memiliki banyak orang berpendidikan tinggi adalah prasyarat untuk mengatasi dampak negatif dari berita palsu. Finlandia adalah contoh negara yang berhasil memerangi hoax melalui pendidikan. Negara ini juga berada di puncak daftar negara-negara Eropa yang dianggap paling tangguh terhadap menghadapi disinformasi, berdasar Media Literacy Index, yang disusun oleh Open Society Institute (OSI) di Sofia, Bulgaria (Mackintosh, 2019).

Pemerintah Indonesia serta para stakeholder di bidang pendidikan dapat mempertimbangkan untuk menerapkan konsep “critical thinking” dalam kurikulum pendidikan di Indonesia seperti yang telah berhasil diterapkan di Finlandia, khususnya pada IB-Program. Pemerintah dapat secara khusus membuat mata pelajaran “critical thinking” dan secara perlahan memasukkan konsep “critical thinking” ke dalam mata pelajaran inti, seperti Bahasa, Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika. Hal ini juga di dukung dengan hasil penelitian mengenai critical thinking di Finlandia (Horn&Vermeens, 2019) mengungkapkan bahwa kurikulum yang menerapkan mata pelajaran “critical thinking” secara khusus dan mengkombinaksikannya ke dalam mata pelajaran inti, memperlihatkan tingkat keberhasilan tinggi dalam pengembangan keterampilan “critical thinking”.

Referensi

Charlton, E. (2019, May 21). How Finland is fighting fake news in the classroom. Retrieved June 8, 2019, from https://www.weforum.org/agenda/2019/05/how-finland-is-fighting-fake-news-in-the-classroom/

DailySocial (2018). Hoax Distribution Through Digital Platforms in Indonesia 2018 [pdf] Retrieve June 06, 2019 from https://dailysocial.id/post/laporan-dailysocial-distribusi-hoax-di-media-sosial-2018

Dizikes, P., & MIT News Office. (2018, March 08). Study: On Twitter, false news travels faster than true stories. Retrieved February 16, 2019, from http://news.mit.edu/2018/study-twitter-false-news-travels-faster-true-stories-0308

Donald, B. (2016, December 15). Stanford researchers find students have trouble judging the credibility of information online. Retrieved June 8, 2019, from https://ed.stanford.edu/news/stanford-researchers-find-students-have-trouble-judging-credibility-information-online

Ekman, D. K. (2017, December 21). Opinion | The Science of ‘Inside Out’. Retrieved April 6, 2019, from https://www.nytimes.com/2015/07/05/opinion/sunday/the-science-of-inside-out.html?partner=socialflow&smid=tw-nytimes&_r=1

Horn, S., & Veermans, K. (2019). Critical thinking efficacy and transfer skills defend against ‘fake news’ at an international school in Finland. Journal of Research in International Education, 18(1), 23–41. doi:10.1177/1475240919830003

Leonhardt, D., Thompson, A. (June 23, 2017). “Trump’s Lies”. New York Times. Retrieved June 05, 2019, from https://www.wired.com/story/free-speech-issue-tech-turmoil-new-censorship/?CNDID=50121752

Lezard, N. (2010, February 27). Beyond the Hoax by Alan Sokal | Book review. Retrieved April 3, 2019, from https://www.theguardian.com/books/2010/feb/27/beyond-hoax-alan-sokal

Mackintosh, E. (2019, May). Finland is winning the war on fake news. Other nations want the blueprint. Retrieved May 28, 2019, from https://edition.cnn.com/interactive/2019/05/europe/finland-fake-news-intl/

Temming, M. (2018, October 03). Algorithms may soon form the front lines in the war on fake news. Retrieved April 4, 2019, from https://www.sciencenews.org/article/can-computer-programs-flag-fake-news

University of Turku. (2019, May 2). Finnish school students outperform US students on ‘fake news’ digital literacy tasks. ScienceDaily. Retrieved June 8, 2019 from www.sciencedaily.com/releases/2019/05/190502104824.htm

--

--